Rumah Dunia adalah lembaga non formal yang bergerak di bidang literasi di
Indonesia. Komunitas ini menjadi rujukan berbagai komunitas di Banten bahkan di
Indonesia. Komunitas ini didirikan oleh Gola a Gong, penulis Novel yang beranjak
dari wartawan lepas di Majalah HAI. Sejak Banten menjadi Provinsi. Rumah Dunia
bergelora, tidak hanya Literasi namun bidang politik, sosial kemasyarakat
menjadi hal yang tidak terelakan bagi para anggota komunitas. Ruang Publik bagi
masyarakat Banten dalam berpikir bebas. Resistensi kerap terjadi jika kebijakan
pemerintah daerah Banten tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat. Rumah
Dunia membentuk dirinya sebagai Agent of
Change.
-Rumah Dunia Ku Bangun dengan
Kata-kata- (Gola a Gong)
I.
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Dunia literasi di Banten sedikit tercerahkan
oleh keberadaan Rumah Dunia. Ada setitik Oase,
di padang kering yang tandus. Penulis
mengibaratkan demikian, didasari dengan kenyataan bahwa di Banten Provinsi yang
sudah berdiri 17 (tujuh belas) tahun, dengan kondisi yang sangat
memprihatinkan. Secara sosial ekonomi, budaya bahkan politik.
Bicara Banten, berita terbesar yang terdengar
hingga belahan dunia adalah, kemiskinan dan keterbelakangan. Ini sudah tidak
bisa dielakan. “Jembatan Indiana Jones” beberapa waktu lalu misalnya, menjadi
perbincangan di berbagai belahan dunia. Hinga kini yang masih menjadi sorotan
mega korupsi Gubernur Banten, Ratu Atut dan beserta keluarga dan jajaran unsur
pemerintah daerah yang melibatkan para pejabat.
Banten se-akan tidak selesai dirudung
masalah. Kondisi Sekolah dasar di pelbagai daerah di Kabupaten Lebak,
Pandeglang, Tangerang, Kota Serang, Kota Cilegon, memprihatinkan. Ini fakta.
Permasalahan itu seakan, tidak henti-hentinya merudung daerah pemekaran yang
dahulu bergabung dengan Provinsi Jawa Barat ini.
Di lain pihak, Pemerintah Daerah Banten yang
berkedudukan di Serang, seakan tidak perduli dengan keadaan sosial, masyarakat
bahkan budaya di Banten. Dasar pemikirannya adalah, ketika masyarakat Banten
butuh perhatian serius di bidang pendidikan dan kebudayaan. Sebuah fakta yang
tidak bisa dielakan, adalah ketika serombongan pimpinan di dinas kebudayaan
Provinsi Banten mengatasnamakan tim kesenian di Banten, berangkat ke Belanda
untuk mengikuti pentas kesenian di “Tong-Tong Festival Nederland” bulan Mei
2015, silam. Alih-alih memberdayakan seniman Banten, yang terjadi adalah, para
pejabat di dinas kebudayaan menjadi “seniman dadakan”, dengan berkostum
menyerupai seniman penari Rampak Bedug. Dan ini di ekspose secara terbuka di akun media sosial salah satu pejabat
dinas yang mengikuti acara di Belanda. Sungguh ironis.
Beberapa kasus yang dijelaskan penulis di
atas, adalah fakta yang dirangkum dalam diskusi, obrolan warung kopi dan
status-status di dinding media sosial yang di curahkan sebagaian aktivis di
komunitas Rumah Dunia.
Rumah Dunia respect terhadap permasalahan kebudayaan di Banten. Bahkan tidak
hanya itu permasalahan politik dan sosial kemasyarakatan lainnya ikut menjadi
perhatian komunitas Rumah Dunia.
Resistensi dilakukan sejak Rumah Dunia
beraktivitas dan melembaga, sejak didirikan tahun 2002, sejak Banten lahir
menjadi Provinsi. Toto ST radik dan Gola Gong di bantu oleh tokoh-tokoh Banten,
seperti Haji Embay Mulya Syarif,
mendirikan Rumah Dunia, tanah sepetak di kampung Ciloang, Serang di
jadikan perpustakaan kecil oleh Gola Gong.
Dari situlah muncul kegiatan-kegiatan
Literasi, Teater, Diklat Juralistik dan Komunitas Film Indie di Banten.
Diskusi-diskusi kecil seiap harinya terjadi disudut-sudut ruangan sempit di
Rumah Dunia. Anak-anak se-susia 7 (tujuh) tahun hingga 12 (dua belas) tahun,
mendatangi Rumah Dunia sekedar untuk membaca buku dongeng, atau majalah
anak-anak bekas yang tersusun rapi di rak-rak buku, milik pribadi Gola Gong.
Kini, Rumah Dunia tetap bertahan dari riuh
rendahnya, kehidupan sosial kemasyarakatan di Banten. Tokoh nasional hingga
tukang becak bahkan “Jawara Banten” datang ke rumah dunia. Sebut saja, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan, hadir ke Rumah Dunia untuk berdiskusi.
Filosofi yang di emban oleh Rumah Dunia,
tidaklah sederhana setelah para pemikir di Rumah Dunia, dalam perjalanannya hingga
kini landasan utamanya, ungkapan Toto ST Radik, “Asah Penamu, simpan Golokmu.”
Track Record Rumah Dunia, Rumah Dunia berjuang adalah
benar memberikan penyadaran kepada masyarakat. Gerakan-gerakan yang di lakukan
Rumah Dunia, hingga kini masih dipercaya oleh Komunitas-komunitas lain, di
Banten. Bahkan diakui oleh Rano Karno, Gubernur Banten saat ini. Satu hari saja
40 (empat puluh) komunitas di Banten, tanpa di undang secara resmi bergabung
untuk menyampaikan petisi yang diterima langsung oleh Gubenrnur Banten.
Menurut Firman Venayaksa, yang juga Mahasiswa
Program Doktor Humaniora – Fakultas Sastra Unpad, Rumah Dunia awalnya bergerak
di bidang Linterasi, kini berubah wujud, ada kesadaran sosial seperti gerakan
kebudayaan yang memiliki value-nya lebih besar, dibanding
politik. Kebudayaan itu masif dan terus menerus. Itulah akibatnya Rumah Dunia,
di hormati orang. Memang awalnya hanya, dari membaca buku di Rumah Dunia.
Kebudayaan itu hanya medium, untuk mengantarkan pada Moralitas dan Etika. Firman
menjelaskan, Rumah Dunia bukan mencetak seniman, namun mencetak kejujuran,
moral dan etika. Pada akhirnya manusia yang datang ke Rumah Dunia berkarakter.
“Ini butuh komitmen besar, yang sederhana,
contoh bahwa di sini bukan urusan Materi, Rumah Dunia di sumbang untuk
membangun gedung sebesar 2 Milyar. Tidak ada satu rupiah pun, mengalir ke Gola
Gong, Toto S Radik atau saya,” tutur Firman yang juga relawan Rumah Dunia, yang
pernah menjabat sebagai Presiden Rumah Dunia.
Resistensi kepada pemerintah kerap dilakukan
oleh Rumah Dunia, para relawan yang berdiskusi di Rumah Dunia, kerap melakukan
perlawanan, karena dirasa perlakuan keadilan dari Pemerintah Daerah di Banten
sudah keterlaluan.
Diskusi masalah, sosial, politik bahakn
kebudayaan secara masif dilakukan di auditorium Rumah Dunia, yang kini bernama
Surosowan, gedung megah yang dibangun oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga pada
tahun 2013. Para aktivis kerap datang silih berganti, seniman dari seluruh
Indonesia silih berganti pentas, pun unsur pemerintah diundang untuk mengisi
diskusi yang bebas, untuk membahas persoalan di Banten yang menyangkut sosial,
politik maupun kebudayaan.
Menilik sedikit tentang perlawanan di Rumah
Dunia, penulis mendialektikan dengan sebuah tulisan karya Sofwan Samandawai,
2001 : viii. Perlawanan yang bisa mereka lakukan agar dapat bertahan dalam
himpitan struktur tersebut adalah perlawanan atau resistensi secara terselubung
yang sangat simbolis. Perlawanan ini mereka pilih secara sadar karena dalam
posisi terselubung itu keamanan mereka terjaga. (Mikung : Bertahan dalam
himpitan : kajian masyarakat marjinal di Tasimalaya.
Perbedaaanya Rumah Dunia, melakukan
perlawanan dengan pemerintah secara terbuka, namun yang menjadi pemikiran
penulis, adalah Rumah Dunianya. Seperti di sebutkan di atas, bahwa Rumah Dunia
kian disegani oleh pemerintah sejak Atut Chosiah berkuasa, bahkan hingga kini,
Rumah Dunia, ditakuti oleh unsur-unsur pemerintah. Dalam mengritisi permasalahan
di Banten, Rumah Dunia kerap hadir paling terdepan. Sebuah contoh suatu saat
Gola Gong, becerita, dirinya pada tahun 2004, di tahan di kantor Komando Distrik
Militer Serang. Alasannya adalah Rumah
Dunia sebagai motor penggerak penolakan, alih fungsi bangunan cagar budaya,
yakni Markas Komando Distrik Militer (MAKODIM) yang berada di pusat kota
Serang, Alun-alun Serang. Gola Gong menjadi motor peggerak penolakan terhadap
alih fungsi Makodim menjadi Mall. Bangunan cagar budaya yang di pertahankan
oleh relawan Rumah Dunia, adalah didasari, bahwa bangunan artistik itu
bersejarah, sudah tidak banyak ditemukan di Serang. Gola Gong beranggapan bahwa
Bangunan tua, biarlah menjadi Heritage
yang memiliki nilai sejarah, dan menjadi kajian penerus para pelajar di Kota
Serang.
Gong bercerita, Perjuangan
yang secara masif dan langsung dengan gelar demontrasi, dilakukan setiap ahri
di alun-alun Serang, Rumah Dunia mulai dikenal sebagai agen perubahan di Kota
Serang yang menyuarakan hati nurani rakyat Serang yang kian kemari, tertindas
oleh pelbagai kepentingan Politik yang tidak lagi, bermain secara nalar dan
logika yang jernih, melainkan kekuasaan dan kerakusan penguasaan bidang politik
dan ekonomi.
1.2 Ruang Publik dan Civil Society di Banten
Rumah Dunia adalah Ruang
Publik, bagi komunitas-komunitas yanga ada di Banten. Orang-orang kreatif di
berbagai bidang, baik akademisi maupun pemuda yang bergerak di bidang sosial,
masyarakat dan kebudayaan. Di dasari oleh Literasi. Budaya Literasi diagungkan
oleh Rumah Dunia, karena diakui oleh Firman Venayaksa, bahwa untuk menggegam
dunia salah satu mediumnya adalah membaca buku.
Rumah Dunia adalah sebuah
tempat, berupa perpustakaan, gedung pertemuan, lapangan untuk bermain bulu
tangkis, taman, dan gazebo untuk berdiskusi. Sebuah arsistektur yang menarik,
bersih dan Indah dipandang. Bangunan megah karya arsitektur moderen yang tidak melupakan
sejarah Banten Lama, di mana terdapat bangunan yang menyerupai menara Mesjid
Banten lama, berupa Gazebo untuk berdiskusi. Begitupun gedung pertemuan berupa
auditorium dinamakan Surosowan sama dengan naman Benteng di kerajaan Sultan
Ageng Tirtayasa di Banten lama.
Menurut Fransisco Budi
Hardiman, Ruang Publik adalah contoh dari telos
dalam ruang arsitektur. Sebuah kenyataan bahwa arsitektur tidak mungkin berdiri
sendiri dan selalau tergantung pada ide-ide dari disiplin ilmu lain seperti
sosial, psikologi, filsafat dan lain-lain. Proxemics
adalah sebuah kajian dari disiplin ilmu antropologi yang menjadi penting dalam
ranah abstrak seperti kebudayaan dan ranah praktis seperti jarak.
Uang Publik di Rumah
Dunia, ketika datang ke Rumah Dunia, yamh terkonsep, banyak yang tidak siap yah
ke luar dari Rumah Dunia. Ruang Publik, sebagai Learning Centre, menampung apapaun gagasan di Rumah Dunia, Rektor
UNTIRTA, pertama saat dinegerikan, Almarhum Prof. Yoyo Mulyana, pernah datang
dan bahagia melihat kondisi Rumah Dunia. Karena awalnya tidak ada tempat
senyaman Rumah Dunia. Untuk orang belajar akan kritis pada berbagai hal. Rumah
Dunia, dalam berdiskusi bebas nilai, mau JIL, Syiah, Ahmadiyah, PKI-pun, kalau
masih dalam tataran Logika boleh beradu argumen di Rumah Dunia.
Apapaun permasalahan,
Rumah Dunia, menyelesaikan permasalahan dengan Diskusi di Rumah Dunia. Idiomnya Simpan Golokmu asah Penamu. Karena
Rumah Dunia beraggapan Emosi yang berlebihan logika tidak terpakai. Di Rumah
Dunia dari awal dijadikan sebagai Learning
Centre.
Pelbagai pihak yang berseteru hadir dalam
satu forum, menurt Firman Venayaksa “Kita selalau mendatangkan yang pro dan
Kontra, terhadap sebuah masalah, di sini adalah Rng Tinju intelektual. Siapapun
boleh, hadir, orang-orang partai politik, jika tidak beres kita hajar di forum
itu, di sini adalah pertarungan gagasan.” Ungkapnya.
Pendekatan komunikasi yang
terjadi adalah bukan yang komunikasi satu
arah. bukannya gaya radio, atau pidato seperti Bupati menyampaikan pengarahan.
Komunikasi yang saling terkoneksi, semua orang boleh mengeluarkan pendapat. Di Rumah
Dunia semua ada, dan tidak menjadi sekat, Profesor bicara langsung dengan
luusan SD, SMP itu lumrah kalau itu untuk urusan kebaikan. Rumah Dunia, secara
formal tidak ada ada AD-ART namun secara Hukum, melebaga di Yayasan Pena Dunia.
Edwar T. Hall dalam The Silet Language memeparkan bahwa kebudayaan adalah bahasa yang
lebih jujur dari pada bahasa lisan. Manusia, tanpa terkecuali ras dan etnik
mana pun, hidup dan dibesarkan dalam tradisi kebudayaan tertentu. Tradisi
kebudayaan ini yang kemudian membentuk struktur dasar berpikir dan kebiasaan
dalam bertingkah laku manusia tersebut. Hall berpendapat hal ini dengan jelas mewujud pada cara tiap
manusia memakai dan berinteraksi dalam ruang. Realasi antar budaya, kebiasaan,
dan ruang ini menyebabkan terjadinya perbedaan makna pada ruang bagi tiap orang
walaupun berada di tempat yang sama. Perbedaan ini juga sampai pada cara orang
mengalami sesuatu termasuk mengalami ruang. Menurutnya lagi, pengalaman
seseorang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimilikinya.
Hal lain, yang penting
dalam merupa Ruang Publik dalam arsitektur adalah Tactility, Informasi apa pun
yang tertangkap oleh kelima indera mempengaruhi perasaan dan pengalaman kita
terhadap nilai kepublikan sebuah ruang. (Hardiman, 321-322)
Publik bagi Kant – dan ini
juga mencrminkan pengertian orang-orang sezaman Kant – tidak lain daripada para
aktor public use of reason. Dalam
konsep ini diacu bukan hanya kebebasan berpikir, melainkan juga keberanian
untuk mengungkapkan secara publik.
Kan menulis sebagai
berikut :
“saya
memahami pemakain rasio secara publik sebagai pemakian rasio yang dilakukan
oleh seseorang sebagai seorang terpelajar di depan seluruh publik dunia bacaan.
Saya menyebut pemakaian rasio secara privat bila seseorang boleh menggunakan
rasionya dalam posisi atau jabatan sipilnya yang ia pegang.”
Penjelasan Kant, itu memiliki konsekuensi
yang menarik karena membalikan seluruh pengertian tentang ‘publik’ yang selama
berabad-abad mendominasi Eropa. Publik bukan lagi para pejabat atau institusi
politis, melainkan masyarakat warga (civil
society) yang kritis dan berorientasi pada kepentingan moral universal umat
manusia. Jadi, pernyataan-pernyataan seorang cendekiawan, sastrawan atau
publik, sehingga kebebasan dan kemajemukan dimungkinkan. Kedua, istilah ruang
publik memiliki arti normatif, yakni mengacu pada peranan masyarakat warga
dalam demokrasi. Boleh dikatakan konsep kepublikan, masyarakat warga, dan ruang
publik yang saling terkait dalam sebagian besar tulisan dalam buku ini
mempersoalkan arti normatif ruang publik itu. Ruang publik dalam arti normatif
itu - yang disebut “ruang publik
politis” – adalah suatu ruang komunikasi para warganegara untuk ikut mengawasi
jalannya pemerintahan.
Pengertian ruang publik sebagai lingkup
spasial (sphere) yang menjadi locus partisipasi warganegara dalam public use of reason itu berasal dari
buku Hannah Arendt, The Human Condition dan buku Jurgen Habermas Strukturwandel der Offentlichkeit
(Perubahan Struktur Ruang Publik). (Hardiman, 2010 : 11)
Untuk masyarakat kita pengertian Ruang Publik
sebagai arena komunikasi itu bukan barang asing, karena dalam sejarah
kebangkitan nasional yang dirintis Boedi Oetomo, kita juga dapat menemukan
berbagai asosiasi warga yang telah berhasil membangun solidaritas nasional yang
melampaui suku-suku bangsa dan agama-agama di Nusantara. Suarat-surat kabar,
Pos, forum-forum – semua media ini membangun opini umum yang pada gilirannya
ikut mendorong solidaritas sebagai suatu bangsa. (Hardiman 2010 : 12)
Penulis sengaja,
menganalisis dengan sebuah tulisan dalam Jurnal, untuk mengkaji keberadaan
komunitas Rumah Dunia. Komfirmasi tentang Civil
Society untuk menggambarkan bahwa
gerakan sosial berupa penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang salah di
awali dengan gerakan masyarakat sosial yakni Civil Society. Dalam Junal Analisis Sosial, berjudul Gerakan Good Governance “Untuk Indonesia” Oleh
Cahyo Suryanto, Vol. 7 No.2 Juni 2002 : 13-38 Dijelaskan bahwa Dalam bahasa
Indonesia istilah Civel Society Sasson
dan Anne Showstack (1983) mengartikan Civil
Society sebagai realita individual yang meninggalkan ikatan keluarga dan
memasuki persaingan ekonomi yang dikontraskan dengan negara (state) atau disebut sebagai negara (state) atau disebut sebagai masyarakat
politik. Demikian pula Hikam (1996) mengertikan Civil Society sebagai kenyataan dari kehidupan sosial yang
terorganisasi yang bersifat sukarela, swadaya, swasembada, dan terbebas dari
tekanan negara, yang terikat hukum yang berlaku. Dengan demikian, pandangan ini
pada hakikatnya menginginkan adanya suatu masyarakat yang mempunyai kemandirian
dan terbebas dari hegemoni negara. Dalam hal ini memegang dapat terjadi suatu
situasi hegemoni yang dilawan dengan counter
hegemony, namun tidakberarti state
dan society harus selalu
bertentangan. Kelompok ini memberi istilah baru sebagai masyarakat warga atau
masyarakat kewargaan. Kemudian Civil
Society ini mengandung konotasi
adanya masyarakat yang beradab (Civillized
Society) yang lebih menganut aturan-aturan yang berkaitan dengan sistem
hukum daripada aturan yang berkaitan dengan sistem hukum daripada aturan yang
bersifat otoriter yang menindas. Dengan demikian, pandangan ini menganggap civil society sebagai suatu gerakan
rakyat untuk membebaskan diri dari hegemoni negara.
1.3 Rumah Dunia sebagai Agent Of
Change
Rumah Dunia sebagai Agent Of Change dapat dilihat dari
keberhasilan perjuangan. Usaha-usaha
pembangunan suatu masyarakat selalu sejumlah orang yang mempelopori. Rumah
Dunia adalah salah satu yang menjadi penggerak dalam pelbagai hal. Terutama
penyadaran. Menurut Soerjono Soekanto menyatakan, pihak-pihak yang menghendaki
perubahan dinamakan agent of change,
yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan sebagai
pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan (Soekanto, 1992 : 273)
Gerakan kebudayaan lebih
besar, sifatnya masif dan terus tdak berhenti di satu titik, dan itu menjadi
Rumah Dunia semakin disegani. Literasi bagain kecil, dan budaya itu hanya
medium untuk memahami kebersahajaan, di Rumah Dunia mencetak moralitas, mereka
menjadi pejabat, PNS, relawan Rumah Dunia seolah dipagari oleh moralitas dan
karakter, karena butuh komitmen besar untuk mempertahankannya.
Dalam perjalanannya, Rumah
Dunia yang terlalu frontal, dirasakan banyak “musuh”. Itu yang membuat jengkel
relawan Rumah Dunia. Banyak pihak, musuh-musuh Rumah Dunia. Ketika membuat
gerakan, pasti banyak orang yang tidak suka, justeru bukan dari Pemerintah,
namun lembaga lain, seperti Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Menurut Firman
Venayaksa, setiap gerakan pasti ada konsekuensi. Namun hingga kini masih segar,
tidak ada masalah para relawan di Rumah Dunia.
Rumah Dunia adalah
beriskan orang-orang modern, karena para relawan beranggapan, Moderinisasi,
bukan orang yang menerapkan sesuatu yang lokal dalam berpikr. “Kita banyak
membaca buku, banyak menyerap dari dunia luar. Kita tahu karena membaca buku.
Mereka di luar juga membaca, tapi mereka tidak mengaplikasikannya dalam
kehidupan sosial.” Menurut Firman.
Dibandingkan di daerah lain, banyak lembaga
resmi seperti Rumah Dunia. Seperti di
Yogya maupun di Bandung, dan itu biasa saja, karena Rumah Dunia ada di Banten,
jadi memang luar biasa. Rumah Dunia tidak serta merta melupkan sejarah, mereka belajar
dari Sultan Ageng Tirtayasa. “Kita baca kita kaji sejarah sejarah Banten, Kita
belajar dari, Kitab yang ditulis Syeh Al Bantani,” tutur Firman.
Dalam rumusan Havelock
(1973), agen perubahan adalah orang yang membantu terlaksananya prubahan sosial
atau suatu inovasi berencana (Nasution, 1990 : 37) Pengenalan dan kemduaian
penerapan hal-hal, gagasan-gagasan, dan ide-ide baru tersebut yang dikenal
dengan sebagai inovasi, dilakukan dengan harapan agar kehidupan masyarakat yang
bersangkutan akan mengalami kemajuan. Agen perubahan juga selalu menanamkan
sikap optimis demi terciptanya perubahan yang diharapkan tadi. Segala sesuatu
tidak akan dengan mudahnya dirubah tanpa adanya sikap optimis dan kepercayaan
terhadap diri sendiri bahwa dapat melakukan perubahan tersebut.
Agen perubahan memimpin
masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam melaksanakannya, agen perubahan
langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan unuk mengadakan prubahan. Bahkan
mungkin menyiapkan pula perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
lainnya. Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan
direncanakan terlebih dahulu dinamakan rekayasa sosial (Social Engineering) atau sering pula dinamakan perencanaan sosial (Social Planning) (Soekanto, 1992 : 273).
1.4 Kesimpulan
Ruang Publik di mana masyarakat memiliki
peranan dalam kehidupan sosial masyarakat, memiliki hak yang sama dalam
berpendapat dan menyatakan kebanaran. Dalam ruang lingkup sosial masyarakat,
Rumah Dunia adalah sebuah komunitas yang di dalamnya terjadi dialektika untuk
pemecahan masalah sosial. Agen Perubahan untuk menuju masyarakat yang lebih
beradab. Gerakan sosial di Rumah Dunia adalah gerakan murni para pemikir yang
menggunkan logika dalam perjuangannya di Banten.
Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi, Ruang Publik, 2010, STF Driyarkara – Kanisius,
Yogyakarta.
Samandawai, Sofwan. 2001, Bibliografi Yayasan AKAGITA, Bandung
Soekanto, Soerjono, 2003. Sosiologi Sutau Pengantar, Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta
Jurnal
Junal Analisis Sosial, berjudul Gerakan Good
Governance “Untuk Indonesia” Oleh Cahyo Suryanto, Vol. 7 No.2 Juni 2002