Selasa, 23 Juni 2015

Komunitas Rumah Dunia Agent Of Change dalam Literasi, Pendidikan Non Formal dan Resistensi Sosial Masyarakat di Ruang Publik

Rumah Dunia adalah lembaga non formal yang bergerak di bidang literasi di Indonesia. Komunitas ini menjadi rujukan berbagai komunitas di Banten bahkan di Indonesia. Komunitas ini didirikan oleh Gola a Gong, penulis Novel yang beranjak dari wartawan lepas di Majalah HAI. Sejak Banten menjadi Provinsi. Rumah Dunia bergelora, tidak hanya Literasi namun bidang politik, sosial kemasyarakat menjadi hal yang tidak terelakan bagi para anggota komunitas. Ruang Publik bagi masyarakat Banten dalam berpikir bebas. Resistensi kerap terjadi jika kebijakan pemerintah daerah Banten tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat. Rumah Dunia membentuk dirinya sebagai Agent of Change.
-Rumah Dunia Ku Bangun dengan Kata-kata- (Gola a Gong)

I.  Pendahuluan

1.1  Latar Belakang
Dunia literasi di Banten sedikit tercerahkan oleh keberadaan Rumah Dunia. Ada setitik Oase, di padang kering  yang tandus. Penulis mengibaratkan demikian, didasari dengan kenyataan bahwa di Banten Provinsi yang sudah berdiri 17 (tujuh belas) tahun, dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara sosial ekonomi, budaya bahkan politik.  
Bicara Banten, berita terbesar yang terdengar hingga belahan dunia adalah, kemiskinan dan keterbelakangan. Ini sudah tidak bisa dielakan. “Jembatan Indiana Jones” beberapa waktu lalu misalnya, menjadi perbincangan di berbagai belahan dunia. Hinga kini yang masih menjadi sorotan mega korupsi Gubernur Banten, Ratu Atut dan beserta keluarga dan jajaran unsur pemerintah daerah yang melibatkan para pejabat.
Banten se-akan tidak selesai dirudung masalah. Kondisi Sekolah dasar di pelbagai daerah di Kabupaten Lebak, Pandeglang, Tangerang, Kota Serang, Kota Cilegon, memprihatinkan. Ini fakta. Permasalahan itu seakan, tidak henti-hentinya merudung daerah pemekaran yang dahulu bergabung dengan Provinsi Jawa Barat ini.
Di lain pihak, Pemerintah Daerah Banten yang berkedudukan di Serang, seakan tidak perduli dengan keadaan sosial, masyarakat bahkan budaya di Banten. Dasar pemikirannya adalah, ketika masyarakat Banten butuh perhatian serius di bidang pendidikan dan kebudayaan. Sebuah fakta yang tidak bisa dielakan, adalah ketika serombongan pimpinan di dinas kebudayaan Provinsi Banten mengatasnamakan tim kesenian di Banten, berangkat ke Belanda untuk mengikuti pentas kesenian di “Tong-Tong Festival Nederland” bulan Mei 2015, silam. Alih-alih memberdayakan seniman Banten, yang terjadi adalah, para pejabat di dinas kebudayaan menjadi “seniman dadakan”, dengan berkostum menyerupai seniman penari Rampak Bedug. Dan ini di ekspose secara terbuka di akun media sosial salah satu pejabat dinas yang mengikuti acara di Belanda. Sungguh ironis.
Beberapa kasus yang dijelaskan penulis di atas, adalah fakta yang dirangkum dalam diskusi, obrolan warung kopi dan status-status di dinding media sosial yang di curahkan sebagaian aktivis di komunitas Rumah Dunia.
Rumah Dunia respect terhadap permasalahan kebudayaan di Banten. Bahkan tidak hanya itu permasalahan politik dan sosial kemasyarakatan lainnya ikut menjadi perhatian komunitas Rumah Dunia.
Resistensi dilakukan sejak Rumah Dunia beraktivitas dan melembaga, sejak didirikan tahun 2002, sejak Banten lahir menjadi Provinsi. Toto ST radik dan Gola Gong di bantu oleh tokoh-tokoh Banten, seperti Haji Embay Mulya Syarif,  mendirikan Rumah Dunia, tanah sepetak di kampung Ciloang, Serang di jadikan perpustakaan kecil oleh Gola Gong.
Dari situlah muncul kegiatan-kegiatan Literasi, Teater, Diklat Juralistik dan Komunitas Film Indie di Banten. Diskusi-diskusi kecil seiap harinya terjadi disudut-sudut ruangan sempit di Rumah Dunia. Anak-anak se-susia 7 (tujuh) tahun hingga 12 (dua belas) tahun, mendatangi Rumah Dunia sekedar untuk membaca buku dongeng, atau majalah anak-anak bekas yang tersusun rapi di rak-rak buku, milik pribadi Gola Gong.
Kini, Rumah Dunia tetap bertahan dari riuh rendahnya, kehidupan sosial kemasyarakatan di Banten. Tokoh nasional hingga tukang becak bahkan “Jawara Banten” datang ke rumah dunia. Sebut saja, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan, hadir ke Rumah Dunia untuk berdiskusi.
Filosofi yang di emban oleh Rumah Dunia, tidaklah sederhana setelah para pemikir di Rumah Dunia, dalam perjalanannya hingga kini landasan utamanya, ungkapan Toto ST Radik, “Asah Penamu, simpan Golokmu.”
Track Record Rumah Dunia, Rumah Dunia berjuang adalah benar memberikan penyadaran kepada masyarakat. Gerakan-gerakan yang di lakukan Rumah Dunia, hingga kini masih dipercaya oleh Komunitas-komunitas lain, di Banten. Bahkan diakui oleh Rano Karno, Gubernur Banten saat ini. Satu hari saja 40 (empat puluh) komunitas di Banten, tanpa di undang secara resmi bergabung untuk menyampaikan petisi yang diterima langsung oleh Gubenrnur Banten.
Menurut Firman Venayaksa, yang juga Mahasiswa Program Doktor Humaniora – Fakultas Sastra Unpad, Rumah Dunia awalnya bergerak di bidang Linterasi, kini berubah wujud, ada kesadaran sosial seperti gerakan kebudayaan  yang memiliki value-nya lebih besar, dibanding politik. Kebudayaan itu masif dan terus menerus. Itulah akibatnya Rumah Dunia, di hormati orang. Memang awalnya hanya, dari membaca buku di Rumah Dunia. Kebudayaan itu hanya medium, untuk mengantarkan pada Moralitas dan Etika. Firman menjelaskan, Rumah Dunia bukan mencetak seniman, namun mencetak kejujuran, moral dan etika. Pada akhirnya manusia yang datang ke Rumah Dunia berkarakter.
“Ini butuh komitmen besar, yang sederhana, contoh bahwa di sini bukan urusan Materi, Rumah Dunia di sumbang untuk membangun gedung sebesar 2 Milyar. Tidak ada satu rupiah pun, mengalir ke Gola Gong, Toto S Radik atau saya,” tutur Firman yang juga relawan Rumah Dunia, yang pernah menjabat sebagai Presiden Rumah Dunia.
Resistensi kepada pemerintah kerap dilakukan oleh Rumah Dunia, para relawan yang berdiskusi di Rumah Dunia, kerap melakukan perlawanan, karena dirasa perlakuan keadilan dari Pemerintah Daerah di Banten sudah keterlaluan.
Diskusi masalah, sosial, politik bahakn kebudayaan secara masif dilakukan di auditorium Rumah Dunia, yang kini bernama Surosowan, gedung megah yang dibangun oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga pada tahun 2013. Para aktivis kerap datang silih berganti, seniman dari seluruh Indonesia silih berganti pentas, pun unsur pemerintah diundang untuk mengisi diskusi yang bebas, untuk membahas persoalan di Banten yang menyangkut sosial, politik maupun kebudayaan.
Menilik sedikit tentang perlawanan di Rumah Dunia, penulis mendialektikan dengan sebuah tulisan karya Sofwan Samandawai, 2001 : viii. Perlawanan yang bisa mereka lakukan agar dapat bertahan dalam himpitan struktur tersebut adalah perlawanan atau resistensi secara terselubung yang sangat simbolis. Perlawanan ini mereka pilih secara sadar karena dalam posisi terselubung itu keamanan mereka terjaga. (Mikung : Bertahan dalam himpitan : kajian masyarakat marjinal di Tasimalaya.
Perbedaaanya Rumah Dunia, melakukan perlawanan dengan pemerintah secara terbuka, namun yang menjadi pemikiran penulis, adalah Rumah Dunianya. Seperti di sebutkan di atas, bahwa Rumah Dunia kian disegani oleh pemerintah sejak Atut Chosiah berkuasa, bahkan hingga kini, Rumah Dunia, ditakuti oleh unsur-unsur pemerintah. Dalam mengritisi permasalahan di Banten, Rumah Dunia kerap hadir paling terdepan. Sebuah contoh suatu saat Gola Gong, becerita, dirinya pada tahun 2004, di tahan di kantor Komando Distrik Militer Serang.  Alasannya adalah Rumah Dunia sebagai motor penggerak penolakan, alih fungsi bangunan cagar budaya, yakni Markas Komando Distrik Militer (MAKODIM) yang berada di pusat kota Serang, Alun-alun Serang. Gola Gong menjadi motor peggerak penolakan terhadap alih fungsi Makodim menjadi Mall. Bangunan cagar budaya yang di pertahankan oleh relawan Rumah Dunia, adalah didasari, bahwa bangunan artistik itu bersejarah, sudah tidak banyak ditemukan di Serang. Gola Gong beranggapan bahwa Bangunan tua, biarlah menjadi Heritage yang memiliki nilai sejarah, dan menjadi kajian penerus para pelajar di Kota Serang.
            Gong bercerita, Perjuangan yang secara masif dan langsung dengan gelar demontrasi, dilakukan setiap ahri di alun-alun Serang, Rumah Dunia mulai dikenal sebagai agen perubahan di Kota Serang yang menyuarakan hati nurani rakyat Serang yang kian kemari, tertindas oleh pelbagai kepentingan Politik yang tidak lagi, bermain secara nalar dan logika yang jernih, melainkan kekuasaan dan kerakusan penguasaan bidang politik dan ekonomi.


1.2 Ruang Publik dan Civil Society di Banten
            Rumah Dunia adalah Ruang Publik, bagi komunitas-komunitas yanga ada di Banten. Orang-orang kreatif di berbagai bidang, baik akademisi maupun pemuda yang bergerak di bidang sosial, masyarakat dan kebudayaan. Di dasari oleh Literasi. Budaya Literasi diagungkan oleh Rumah Dunia, karena diakui oleh Firman Venayaksa, bahwa untuk menggegam dunia salah satu mediumnya adalah membaca buku.
            Rumah Dunia adalah sebuah tempat, berupa perpustakaan, gedung pertemuan, lapangan untuk bermain bulu tangkis, taman, dan gazebo untuk berdiskusi. Sebuah arsistektur yang menarik, bersih dan Indah dipandang. Bangunan megah karya arsitektur moderen yang tidak melupakan sejarah Banten Lama, di mana terdapat bangunan yang menyerupai menara Mesjid Banten lama, berupa Gazebo untuk berdiskusi. Begitupun gedung pertemuan berupa auditorium dinamakan Surosowan sama dengan naman Benteng di kerajaan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten lama.
            Menurut Fransisco Budi Hardiman, Ruang Publik adalah contoh dari telos dalam ruang arsitektur. Sebuah kenyataan bahwa arsitektur tidak mungkin berdiri sendiri dan selalau tergantung pada ide-ide dari disiplin ilmu lain seperti sosial, psikologi, filsafat dan lain-lain. Proxemics adalah sebuah kajian dari disiplin ilmu antropologi yang menjadi penting dalam ranah abstrak seperti kebudayaan dan ranah praktis seperti jarak.
            Uang Publik di Rumah Dunia, ketika datang ke Rumah Dunia, yamh terkonsep, banyak yang tidak siap yah ke luar dari Rumah Dunia. Ruang Publik, sebagai Learning Centre, menampung apapaun gagasan di Rumah Dunia, Rektor UNTIRTA, pertama saat dinegerikan, Almarhum Prof. Yoyo Mulyana, pernah datang dan bahagia melihat kondisi Rumah Dunia. Karena awalnya tidak ada tempat senyaman Rumah Dunia. Untuk orang belajar akan kritis pada berbagai hal. Rumah Dunia, dalam berdiskusi bebas nilai, mau JIL, Syiah, Ahmadiyah, PKI-pun, kalau masih dalam tataran Logika boleh beradu argumen di Rumah Dunia.
            Apapaun permasalahan, Rumah Dunia, menyelesaikan permasalahan dengan Diskusi di Rumah Dunia.  Idiomnya Simpan Golokmu asah Penamu. Karena Rumah Dunia beraggapan Emosi yang berlebihan logika tidak terpakai. Di Rumah Dunia dari awal dijadikan sebagai Learning Centre.
Pelbagai pihak yang berseteru hadir dalam satu forum, menurt Firman Venayaksa “Kita selalau mendatangkan yang pro dan Kontra, terhadap sebuah masalah, di sini adalah Rng Tinju intelektual. Siapapun boleh, hadir, orang-orang partai politik, jika tidak beres kita hajar di forum itu, di sini adalah pertarungan gagasan.” Ungkapnya.
            Pendekatan komunikasi yang terjadi adalah bukan yang komunikasi  satu arah. bukannya gaya radio, atau pidato seperti Bupati menyampaikan pengarahan. Komunikasi yang saling terkoneksi, semua orang boleh mengeluarkan pendapat. Di Rumah Dunia semua ada, dan tidak menjadi sekat, Profesor bicara langsung dengan luusan SD, SMP itu lumrah kalau itu untuk urusan kebaikan. Rumah Dunia, secara formal tidak ada ada AD-ART namun secara Hukum, melebaga di Yayasan Pena Dunia.           
Edwar T. Hall dalam The Silet Language memeparkan bahwa kebudayaan adalah bahasa yang lebih jujur dari pada bahasa lisan. Manusia, tanpa terkecuali ras dan etnik mana pun, hidup dan dibesarkan dalam tradisi kebudayaan tertentu. Tradisi kebudayaan ini yang kemudian membentuk struktur dasar berpikir dan kebiasaan dalam bertingkah laku manusia tersebut. Hall berpendapat  hal ini dengan jelas mewujud pada cara tiap manusia memakai dan berinteraksi dalam ruang. Realasi antar budaya, kebiasaan, dan ruang ini menyebabkan terjadinya perbedaan makna pada ruang bagi tiap orang walaupun berada di tempat yang sama. Perbedaan ini juga sampai pada cara orang mengalami sesuatu termasuk mengalami ruang. Menurutnya lagi, pengalaman seseorang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimilikinya.
            Hal lain, yang penting dalam merupa Ruang Publik dalam arsitektur adalah Tactility,  Informasi apa pun yang tertangkap oleh kelima indera mempengaruhi perasaan dan pengalaman kita terhadap nilai kepublikan sebuah ruang. (Hardiman, 321-322)
            Publik bagi Kant – dan ini juga mencrminkan pengertian orang-orang sezaman Kant – tidak lain daripada para aktor public use of reason. Dalam konsep ini diacu bukan hanya kebebasan berpikir, melainkan juga keberanian untuk mengungkapkan secara publik.
            Kan menulis sebagai berikut :
“saya memahami pemakain rasio secara publik sebagai pemakian rasio yang dilakukan oleh seseorang sebagai seorang terpelajar di depan seluruh publik dunia bacaan. Saya menyebut pemakaian rasio secara privat bila seseorang boleh menggunakan rasionya dalam posisi atau jabatan sipilnya yang ia pegang.”
Penjelasan Kant, itu memiliki konsekuensi yang menarik karena membalikan seluruh pengertian tentang ‘publik’ yang selama berabad-abad mendominasi Eropa. Publik bukan lagi para pejabat atau institusi politis, melainkan masyarakat warga (civil society) yang kritis dan berorientasi pada kepentingan moral universal umat manusia. Jadi, pernyataan-pernyataan seorang cendekiawan, sastrawan atau publik, sehingga kebebasan dan kemajemukan dimungkinkan. Kedua, istilah ruang publik memiliki arti normatif, yakni mengacu pada peranan masyarakat warga dalam demokrasi. Boleh dikatakan konsep kepublikan, masyarakat warga, dan ruang publik yang saling terkait dalam sebagian besar tulisan dalam buku ini mempersoalkan arti normatif ruang publik itu. Ruang publik dalam arti normatif itu  - yang disebut “ruang publik politis” – adalah suatu ruang komunikasi para warganegara untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan.
Pengertian ruang publik sebagai lingkup spasial (sphere) yang menjadi locus partisipasi warganegara dalam public use of reason itu berasal dari buku Hannah Arendt, The Human Condition dan buku Jurgen Habermas Strukturwandel der Offentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik). (Hardiman, 2010 : 11)
Untuk masyarakat kita pengertian Ruang Publik sebagai arena komunikasi itu bukan barang asing, karena dalam sejarah kebangkitan nasional yang dirintis Boedi Oetomo, kita juga dapat menemukan berbagai asosiasi warga yang telah berhasil membangun solidaritas nasional yang melampaui suku-suku bangsa dan agama-agama di Nusantara. Suarat-surat kabar, Pos, forum-forum – semua media ini membangun opini umum yang pada gilirannya ikut mendorong solidaritas sebagai suatu bangsa. (Hardiman 2010 : 12)
            Penulis sengaja, menganalisis dengan sebuah tulisan dalam Jurnal, untuk mengkaji keberadaan komunitas Rumah Dunia. Komfirmasi tentang Civil Society  untuk menggambarkan bahwa gerakan sosial berupa penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang salah di awali dengan gerakan masyarakat sosial yakni Civil Society. Dalam Junal Analisis Sosial, berjudul Gerakan Good Governance “Untuk Indonesia” Oleh Cahyo Suryanto, Vol. 7 No.2 Juni 2002 : 13-38 Dijelaskan bahwa Dalam bahasa Indonesia istilah Civel Society Sasson dan Anne Showstack (1983) mengartikan Civil Society sebagai realita individual yang meninggalkan ikatan keluarga dan memasuki persaingan ekonomi yang dikontraskan dengan negara (state) atau disebut sebagai negara (state) atau disebut sebagai masyarakat politik. Demikian pula Hikam (1996) mengertikan Civil Society sebagai kenyataan dari kehidupan sosial yang terorganisasi yang bersifat sukarela, swadaya, swasembada, dan terbebas dari tekanan negara, yang terikat hukum yang berlaku. Dengan demikian, pandangan ini pada hakikatnya menginginkan adanya suatu masyarakat yang mempunyai kemandirian dan terbebas dari hegemoni negara. Dalam hal ini memegang dapat terjadi suatu situasi hegemoni yang dilawan dengan counter hegemony, namun tidakberarti state dan society harus selalu bertentangan. Kelompok ini memberi istilah baru sebagai masyarakat warga atau masyarakat kewargaan. Kemudian Civil Society  ini mengandung konotasi adanya masyarakat yang beradab (Civillized Society) yang lebih menganut aturan-aturan yang berkaitan dengan sistem hukum daripada aturan yang berkaitan dengan sistem hukum daripada aturan yang bersifat otoriter yang menindas. Dengan demikian, pandangan ini menganggap civil society sebagai suatu gerakan rakyat untuk membebaskan diri dari hegemoni negara.
1.3 Rumah Dunia sebagai Agent Of Change
            Rumah Dunia sebagai Agent Of Change dapat dilihat dari keberhasilan perjuangan.  Usaha-usaha pembangunan suatu masyarakat selalu sejumlah orang yang mempelopori. Rumah Dunia adalah salah satu yang menjadi penggerak dalam pelbagai hal. Terutama penyadaran. Menurut Soerjono Soekanto menyatakan, pihak-pihak yang menghendaki perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan (Soekanto, 1992 : 273)
            Gerakan kebudayaan lebih besar, sifatnya masif dan terus tdak berhenti di satu titik, dan itu menjadi Rumah Dunia semakin disegani. Literasi bagain kecil, dan budaya itu hanya medium untuk memahami kebersahajaan, di Rumah Dunia mencetak moralitas, mereka menjadi pejabat, PNS, relawan Rumah Dunia seolah dipagari oleh moralitas dan karakter, karena butuh komitmen besar untuk mempertahankannya.
            Dalam perjalanannya, Rumah Dunia yang terlalu frontal, dirasakan banyak “musuh”. Itu yang membuat jengkel relawan Rumah Dunia. Banyak pihak, musuh-musuh Rumah Dunia. Ketika membuat gerakan, pasti banyak orang yang tidak suka, justeru bukan dari Pemerintah, namun lembaga lain, seperti Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Menurut Firman Venayaksa, setiap gerakan pasti ada konsekuensi. Namun hingga kini masih segar, tidak ada masalah para relawan di Rumah Dunia.
            Rumah Dunia adalah beriskan orang-orang modern, karena para relawan beranggapan, Moderinisasi, bukan orang yang menerapkan sesuatu yang lokal dalam berpikr. “Kita banyak membaca buku, banyak menyerap dari dunia luar. Kita tahu karena membaca buku. Mereka di luar juga membaca, tapi mereka tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial.” Menurut Firman.
Dibandingkan di daerah lain, banyak lembaga resmi seperti Rumah Dunia.  Seperti di Yogya maupun di Bandung, dan itu biasa saja, karena Rumah Dunia ada di Banten, jadi memang luar biasa. Rumah Dunia tidak serta merta melupkan sejarah, mereka belajar dari Sultan Ageng Tirtayasa. “Kita baca kita kaji sejarah sejarah Banten, Kita belajar dari, Kitab yang ditulis Syeh Al Bantani,” tutur Firman.
           
            Dalam rumusan Havelock (1973), agen perubahan adalah orang yang membantu terlaksananya prubahan sosial atau suatu inovasi berencana (Nasution, 1990 : 37) Pengenalan dan kemduaian penerapan hal-hal, gagasan-gagasan, dan ide-ide baru tersebut yang dikenal dengan sebagai inovasi, dilakukan dengan harapan agar kehidupan masyarakat yang bersangkutan akan mengalami kemajuan. Agen perubahan juga selalu menanamkan sikap optimis demi terciptanya perubahan yang diharapkan tadi. Segala sesuatu tidak akan dengan mudahnya dirubah tanpa adanya sikap optimis dan kepercayaan terhadap diri sendiri bahwa dapat melakukan perubahan tersebut.
            Agen perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam melaksanakannya, agen perubahan langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan unuk mengadakan prubahan. Bahkan mungkin menyiapkan pula perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan rekayasa sosial (Social Engineering) atau sering pula dinamakan perencanaan sosial (Social Planning) (Soekanto, 1992 : 273).
1.4 Kesimpulan
            Ruang Publik di mana masyarakat memiliki peranan dalam kehidupan sosial masyarakat, memiliki hak yang sama dalam berpendapat dan menyatakan kebanaran. Dalam ruang lingkup sosial masyarakat, Rumah Dunia adalah sebuah komunitas yang di dalamnya terjadi dialektika untuk pemecahan masalah sosial. Agen Perubahan untuk menuju masyarakat yang lebih beradab. Gerakan sosial di Rumah Dunia adalah gerakan murni para pemikir yang menggunkan logika dalam perjuangannya di Banten.

Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi, Ruang Publik, 2010, STF Driyarkara – Kanisius, Yogyakarta.
Samandawai, Sofwan. 2001, Bibliografi Yayasan AKAGITA, Bandung
Soekanto, Soerjono, 2003. Sosiologi Sutau Pengantar, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta
Jurnal
Junal Analisis Sosial, berjudul Gerakan Good Governance “Untuk Indonesia” Oleh Cahyo Suryanto, Vol. 7 No.2 Juni 2002






Minggu, 14 Desember 2014

KASEPUHAN CISUNGSANG

  1. Asal-Usul Kasepuhan Cisungsang


Kampung Cisungsang terletak persis di tepi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Terlihat tugu dan papan yang berdiri kokoh yang menandakan bahwa kawasan di Kecamatan Cibeber merupakan kawasan TNGS. Pemandangan sepanjang perjalanan dari Kota Kecamatan Bayah menuju Cisungsang terlihat  masih asri.

Jarak dari ibukota Provinsi Banten, kota Serang menuju  ke Cisungsang sekitar 250 KM, jalan raya -  jika dari Jakarta sekitar 350 KM. Walau jauh dan melelahkan, perjalanan akan terasa menyenangkan karena setelah sampai di wilayah Cikotok kita akan melihat pemandangan yang indah, terlihat anggunnya Gunung Halimun, yang setiap harinya dihiasi oleh awan tebal, walau hari cukup cerah di sekitarnya.

Description: E:\FOTO JANUARI-RISET\01\IMG_5062.JPG

Menjelaskan sejarah Cisungsang, tidak bisa sehari-atau dua hari berada di Kasepuhan Cisungsang. Namun penulis perlu berhari-hari bahkan bertahun-tahun untuk memahami Kasepuhan Cisungsang.  Apih Adeng Jayasasmita, menegaskan pada acara Seren Taun Cisungsang  2013, di bulan September. Beliau berbincang beberapa menit sebelum beranjak membawa bahan-bahan (kemenyan) dalam  iring-iringan upacara adat Seren Taun Cisungsang, “ieu masih katutup, teua acan tiasa di buka, apih ningalina kitu ” Apih Adeng menjelaskan bahwa, cerita Kasepuhan Cisungsang belum dapat diungkapkan se-utuhnya, masih tertutup. Beliau melihat bahwa penelitian di Cisungsang, tidak akan lengkap, karena masih ada yang belum bisa diungkapkan secara terbuka kepada masyarakat umum. Hal ini membuat rasa penasaran penulis, karena Apih Adeng merupakan sesepuh yang merupakan sosok penasehat Kasepuhan Cisungsang, yang dipercaya kepala adat untuk memimpin upacara adat di Kasepuhan Cisungsang.

Kasepuhan Cisungsang bukanalah  padepokan, atau tempat untuk berkumpul atau juga kerajaan yang membuat dinasti berkembang dan beranak pinak. Namun Kasepuhan Cisungsang adalah sebuah amanat dari para leluhur yang diturunkan secara turun-temurun dari silsilah keluarga. Kehidupan masyarakat Cisungsang kini sudah moderen, hanya di komplek rumah kepala adat saja, yang bangunan serta alun-alun berdiri kokoh dengan bahan material bangunan terdiri dari bahan baku yang mayoritas teridir dari kayu, namun juga unsur moderen banyak digunakan dalam bangunan yang kini berdiri dan digunakan oleh Kepala Adat beserta keluarga, yaitu Ema isteri Abah dan ke-tiga anaknya.

          Description: E:\FOTO JANUARI-RISET\01\IMG_5041.JPG


Mengutip tulisan dari Will Barton & Andrew Black, 2005. Pada, dasarnya masyarakat modern hanya memiliki sedikit kemiripan dengan apa yang kita golongkan sebagai masyarakat. Dalam  masyarakat feodal, populasi tersebar secara geografi dan terlepas dari fakta bahwa orang-orang tunduk pada aturan  raja dan tuan tanah feodal, hanya ada sedikit rasa memiliki pada komunitas lebih besar yang akan kita kenali dalam istilah “masyarakat”.[1]
                Peran sentral Kepala Adat di Kasepuhan Cisungsang utamanya adalah dalam hal bercocok tanam dalam pertanian dan pencarian usaha masyarakat yang tergabung dalam komunitas adat kasepuhan Cisungsang. Pertanian di Kasepuhan Cisungsang masih menggunakan cara-cara tradisional. Tidak menggunakan mesin dalam menggarap lahan, namun menggunakan kerbau sebagai alat untuk membajak, memenaen padi dengan menggunakan pisau kecil.
Johan Iskandar Menjelaskan, Dalam beberapa kondisi, system pertanian lading tradisional mempu bertahan secara berkelanjutan. Misalnya, system pertanian yang mamapu beradaptasi dan terintegrasi dengan kondisi local, mendapat dukungan dari ekstraksi sumber-sumber nonpertanian, memiliki sekuriti dalam hal akses terhadap lahan dan sumber daya alam lainnya, serta tidak melampaui daya dukungnya (Geertz, 1963;Conklin, 1969;Harris, 1969;Rappaport, 1971; Ellen, 1975, 1977;Nations & Night, 1980; Dove, 1983; Berkes et all, 1989). Jika persyaratan-persyaratan tadi tidak terpenuhi, sistem pertanian ladang berkelanjutan ini secara umum sulit untuk dipertahankan.[2]
            Dalam Seren Taun Cisungsang, ada  istilah Balik Taun Rendangan, dalam perisitwa ini, kepala adat Kasepuhan Cisungsang, menerima para sesepuh di Kasepuhan Cisungsang atau di sebut Rendangan. Dalam pertemuan singat ini, para Rendangan bertatap muka dan, terjadi komunikasi dua arah antara Abah Usep dengan para Rendangan secara bergiliran. Segala pengalaman hidup, hasil materi yang didapatkan di ceritakan kepada Abah Usep, sebagai pupuhu adat. Peristiwa ini oleh para sesepuh adat di maknakan sebagai proses penyampaina pesan dari masyarakat di komunitas adat kepada Kepala Adat. Istilahnya adalah Nyarita.[3]     

Komplek Kasepuhan Cisungsang
Rumah adat Kasepuhan Cisungsang berada di Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, terletak di perbukitan – di kaki Gunung Halimun. Rumah kepala adat menghadap ke arah barat. Dan di depannya terdapat lahan kosong berupa halaman yang disediakan untuk kepentingan adat, sepeerti acara Seren Taun. Rumaha adat Kasepuhan Cisungsang memanjang dari arah selatan ke utara.
Rumah  adat Kasepuhan Cisungsang terdiri dari beberapa bagian ruangan yang tersusuan rapi yang terbaut dari bahan yang alami, yang hamper seluruhnya terdiri dari bahan kayu yang berada di sekitar Cisungsang. Bahan bangunan seperti tiang rumah adalah kayu kokoh berukuran besar dari kayu….sedangkan dinding dari anyaman pohon bamboo (awi) yang dianyam menjadi bilik tanpa di pernis. Lantai menggunakan kayu albasiyah yang di serut sedangkan atap dengan bahan dari injuk pohon serabut yang rapat.

Description: E:\FOTO JANUARI-RISET\01\IMG_5039.JPG

Selain rumah terdapat juga Leuit  besar yang berdekatan dengan rumah adat disebut juga leuit si jimat. Leuit ini tempat penyimpanan padi untuk kepentingan kepala adat di Kasepuhan Cisungsang. Leuit ini berisikan pare hasil dari pertanian – masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang.

Leuit  memeiliki pintu yang berada di atas seperti jendela untuk penyimpanan padi atau mengeluarkan padi, yang menghadap kea rah utara. Filosofinya “sasadu kudu ka kidul” jika memohon atau menyampaikan sesuatu sebaiknya bicara dahulu ke selatan. Kasepuhan Cisungsang berada di antara gunung-gunung yang mengintari Sangga Buana, yang di anataranya Gunung Halimun.

Gunung-gunung yang terdapat di pegunungan Sangga Buana anatara lain : Gunung Benceut, Gunung Bongkok, Gunung Kelud, Gunung Jaya Sampurna, Gunung Kamuray, Gunung Suren, Gunung Bentang Gading, Gunung ngoyod, Gunung Botol,  Gunung Kasur, Gunung Palasari, gunung Salak, Gunung gagak, Gunung .

Masyarakat Kasepuhan Cisungsang mempercayai dan patuh terhadap aturan adat mengenai istilah gunung larangan dan gunung Titipan atau disebut juga leweung kolot.
Gunung larangan adalah di mana terdapat mata air yang keberadaan gunung tersebut tidak boleh di ganggu atau di gunakan untuk di garap. Gunung larangan terdapat mata air yang tidak boleh di digunakan lingkungannya oleh masyarakat Incu – Putu. Alasannya adalah karena merupakan sumber mata air yang nantinya berguna bagi masyarakat Incu – Putu. Biasanya di sekitar mata air yang terdapat di gunung Larangan terdapat dua pohon langka, yaitu pohon Leles dan Pohon Kondang.


Description: E:\FOTO JANUARI-RISET\01\IMG_5023.JPG


Ke dua pohon itu, menjaga kelestarian air. Keberadan pohon leles dan Kondang kini langka – bahkan di Cisungsang jarang ditemui. Dari Gunung Larangan yang teradap mata air, mengaliri aliran sungai yang  mengalir di sungai Ciburial, Sungai Lebak Dahu, Sungai Lebak Leles, Sungai Palasari, Sungai Cibentang, Sungai Cimencek, Sungai Cisakirin.

Gunung Larangan terdapat di wilayah utara, barat dan timur.

Di wilayah timur terdapat perbukitan yang dilintasi sungai cibiil, sungai cibanteng, sungai cikadu, sungai cisalak. Di wilayah utara terdapat di sunagi citempu, sungai cipari, sungai lebak dahu, sungai cibenjang, sungai cimencele, sungai cibentang, sungai ciseupan.




Di wilayah barat terdapat dua sungai yaitu Cibuha dan sungai Palasari.

Pewaris tempat Kasepuhan di Banten Selatan

1.      Kasepuhan Cisungsang
2.      Kasepuhan Cipta Gelar
3.      Kasepuhan Cicarucub
4.      Kasepuhan Citorek
5.      Kasepuhan Bayah (Kasepuhan Bayh mandiri, atau berdiri sendiri tidak ada ikatan secara lahiriah dengan kasepuhan Cisungsang)

Description: D:\FOTO SEREN TAUN 2011-2012-2013\Foto seren taun from yokii n crew\Seren taun 2011\IMG_0527.JPG

Silsilah Kasepuhan Cisungsang,

Di awali dari cerita yang disampaikan oleh Apih Adeng, diawali ketika membuka Kasepuhan Cisungsang Olot Ruman, lalu Olot Sakrim, dilanjutkan kepada Olot Ipi dan olot Ciing, lalu di pegang oleh Olot Sardani dari Olot Sardani kepada adiknya yaitu Olot Naedi yang bertahan hanya 5 tahun, melalui wangsit Abah Usep yang sedang menempuh pendidikan SMA di Rangkas, di daulat menjadi Kepala Adat sejak tahun 1993.

Kasepuhan Cisungsang, lokasinya berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya, di awali di daerah Cipangbeasan. Pertamakalinya pusat rumah adat yang ditempati kepala adat dan keluarga serta kerabat dekat berada di Cisuren sekitar Gunung Lebak Lega. Kala itu kepala adat di pimpin oleh Mbah Sakrim – atau disebut Olot Sakrim yang usianya mencapai 200 tahun.

Description: D:\FOTO SEREN TAUN 2011-2012-2013\Foto seren taun from yokii n crew\Seren taun 2011\IMG_0517.JPG

Kasepuhan Cisungsang menempati rumah adat di Cipangbeasan selama di pimpin Olot Sakrim. Dala perjalanannya rumaha adat Kasepuhan Cisungsang berpindah tempat ke Pasir Jingjing yang lokasinya masih di hutan yang berada di wilayah Cisungsang. DI Pasir Jingjing rumah adat Kasepuhan Cisungsang di bangun oleh ratusan warga kasepuhan Cisungsang, yang datang dari berbagai wilayah yang dilintasi sungai Cisungsang. Sebuah keanehan karena begitu banyaknya yang membantu membersihkan hutan untuk mendirikan rumah adat Kasepuhan Cisungsang, saat itu.

Dari Pasir Jingjing, Kasepuhan Cisungsang berpindah ke pasir Koja, perpindahan tempat di awalai dari wangsit yang diterima oleh kepala Adat, yang saat itu sudah di pimpin oleh Abah Usep Suyatma.  Kasepuhan Cisungsang di Pasir Koja, hingga kini masih tetap berdiri kokoh dan semakin luas.

Tahun 1993 Abah Usep Suyatma mendapatkan wangsit untuk memindahkan lokasi kasepuhan Adat Cisungsang dari Cipangbeasan. Di Awali pertemuan para tokoh rendangan dengan Abah Usep, di antaranya APih Adeng. Apih Adeng Jayasasmita di minta oleh Abah melaksanakan wangsit untuk membawa obor dan pergi ke hutan. Apih Adeng bercerita, saat itu dirinya di temani Apih Adil yang hingga kini masih menjabat Dukun Di Kasepuhan Cisungsang. Apih Adeng langsung menancapkan Obor, ketika obor yang di bawa Apih padam, karena ada yang hembusan angin yang meniup hingga Obor Mati. Apih Adeng memastikan bahwa lokasi rumah adat Kasepuhan berada di Lokasi ketika Obor padam. Setelah di tandai dengan penacapan Obor, Apih Adeng menyebut daerah tersebut dengan nama Pasir Jingjing.

Tidak berlansung lama, sebuah kajaiban saat itu ribuan orang warga kasepuhan Cisungsang datang dari pelbagai penjuru. Mereka membawa peralatan seperti golok, pacul dan peralatan yang di buat oleh Panei, atau pandai besi, membabat wilayah Hutan Pasir Jingjing untuk dijadikan tempat rumah Adat Kasepuhan Cisungsang.

Apih Adeng, menegaskan bahwa rumah adat Kasepuhan Cisungsang selesai di bangun, namun tidak digunakan dalam jangka lama. Dan sempat tidak digunakan.

Description: D:\FOTO SEREN TAUN 2011-2012-2013\Foto seren taun from yokii n crew\PILIHAN\DSC_6527.JPG

Keunikan dan sebiah legenda di Cisungsang dan dipercayai oleh masyarakat adat adalah cerita tentang sungai yang mengalir di sekitar Kasepuhan Cisungsang di Cipangbeasan. Sungai Cipangbeasan berasal dari nama beras, sehingga disebut Cipangbeasan. Menurut cerita Apih Adeng, ketika seorang petani di waktu sore hari akan pulang ke rumah tidak membawa apa-apa setelah bekerja seharian, saat musim paceklik tiba, Petani datang ke Sungai Cipangbeasan , air sungai yang mengalir jernih di siuk atau di ambil untuk di bawa ke rumah dan diserahkan kepada isteri untuk di masak yang ternyata adalah beras. Cerita ini diakui Apih Adeng memang hanya terjadi di Cipangbeasan Kasepuhan Cisungsang, dan terjadi ratusan tahun yang lalu. Karena dewasa ini lahan pertanian semakin banyak dan di Kasepuhan Cisungsang masyarakat telah hidup layak dengan lahan pertanian yang ada. Tanah yang subur menjadikan panen di Kasepuhan Cisungsang dua kali dalam setahun. Dan kini tidak terjadi paceklik. Bahkan dapat dikatakan Leuit atau lumbung padi yang terdapat di rumah-rumah penduduk di Kasepuhan Cisungsang setiap tahunnya masih terisi dan tidak pernah kosong. Karena keunikan di Kasepuhan Cisungsang semua hasil panen baik Padi atau beras tidak diperjualbelikan kepada orang lain. Hanya dikonsumsi keluarga saja.


[1] Will Barton & Andrew Black, 2005, Bersiap Mempelajari Kajian Komunikasi, Jalansutra.
[2]Johan Iskandar, Manusia dan Ekologi,  2001, Humaniora Utama Press
[3] Nyarita, dalam bahasa Indonesia, adalah menceritakan, menurut Apih Adeng,  para Rendangan diperbolehkan menceritakan hal-hal terpenting saja dalam  peristiwa Balik Taun Rendangan, isi ceritanya berupa  kebahagiaan, tentang melimpahnya hasil panen, niat untuk membuka usaha perdagangan, dan rencana di tahun  mendatang agar direstui dan diberikan Do’a oleh sang kepala adat. (Wawancara dengan Apih Adeng Jayasasmita).

Senin, 03 Januari 2011

Konglomerasi Media, Regulasi di Indonesia



Kebijakan Sistem Komunikasi di Indonesia, Regulasi dan Implementasi
Konglomerasi Media, Regulasi di Indonesia

                Konglomerasi Media di Indonesia sudah tidak bisa dipungkuri lagi, secara nyata bos-bos di dunia usaha menguasai industri media, yang merupakan industri baru di Indonesia. Terjadi sangat cepat perkembangan bisnis media ini sehingga sudah tidak mudah lagi dikontrol lagi dalam percaturan persaingannya. Tidak hanya terjadi persaingan bisnis dalam negeri namun juga jaringan bisnis media internasional yang mulai memasuki wilayah media nasional.
            Sejak terjadinya Reformasi  1998, terjadi euphoria besar-besaran dalam bisnis media massa, baik cetak maupun elektronik.    Namun hal ini berdampak buruk, pada perkembangan media di Indonesia. Media hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari keuntungan sesaat. Media baru bermunculan dari yang sangat kecil dalam segi perusahaan maupun redaksi, menengah hingga besar. Namun faktanya banyak yang berguguran, sebelum berkembang. Data Dewan pers tahun 2006 yang menyebutkan bahwa dari  851 media  yang terbit di Indonesia, terdiri dari 284 surat kabar harian,  327 surat kabar mingguan,  237 majalah, 3 buletin, hanya sekitar 30% yang sehat. 1
            Bisnis media cetak dikelola secara tidak professional. Bahkan bisa dikatakan bahwa industri media bejalan tidak sehat. Dengan banyakanya media yang gulung tikar. Dalam hal ini terbit hanya beberapa edisi saja, seperti tabloid mingguan misalnya. Tahun 2001, sebuah ilustrasi kongrit. Penulis pernah bekerja di media baru di yang bernama Moderator, media tersebut berkantor di Jakarta Utara, tepatnya di Jalan Siaga – Tanjung Priok. Ironis sekali, karena hanya terbit 11 edisi saja dalam tiga bulan karena bulan keempat media tersebut sudah tidak mampu lagi membiayai gaji jurnalis dan biaya percetakan. Masalah terjadi pada perusahaan yang tidak siap dengan permodalan. Dan dalam perjalanannya iklan di Tabloid mingguan moderator tidak kunjung datang atau terpasang.
            Namun di sisi lain usaha bisnis media yang dikelola oleh kelompok konglomerasi semakin menjadi dan tumbuh besar, suatu contoh gruyp MNC, Media Nusantara Cipta, kini memiliki tiga stasiun televisi nasional, RCTI, Global TV, MNC TV, jaringan televisi kabel, juga Koran Seputar Indonesia, dan Jaringan Radio di berbagai daerah di Indonesia. Belum lagi stasiun televisi lokal yang berjaringan dengan grup ini. Di media cetak tidak bisa dipungkuri grup Jawa Pos dan Grup Kompas Gramedia menguasai pangsa pasar terbesar media cetak di Indonesia.
            Ini fakta bahwa di Indonesia terjadi konglomerasi media yang besar-besaran, ilsutrasi lain di media televise juga adalah munculnya grup PARA, yang memulai bisnisnya di Media Televisi, Trans Corporation dengan Trans TV-nya. Namun saat ini telah memiliki TRANS 7, hasil pembelian dari Grup KOMPAS Gramedia.  Terakhir adalah Bakrie grup yang memulai bisnis media di tanah Lampung, ANTV didirikan di Bandar Lampung pada tanggal 1 Januari 1993. Kini telah memiliki TV One, hasil membeli dari pengusaha Abdul Latif, TV tersebut seblumnya, bernama Lativi mirip nama si empunya terdahulu.
            Media yang memiliki grup berbeda seperti MNC grup juga terjadi di Staisun Televisi Metro TV dan Media Indonesia. Dimiliki Surya Paloh, yang kini mulai mendirikan organisasi sosial kemasyarakatan Nasional Demokrat.
            Konglomerasi media tidak hanya terjadi di Indonesia rupanya namun di berbagai belahan bumi di dunia, Bag Bagnikian, yang dikenal sebagai “salah satu suara paling disegani dalam dunia jurnalisme dewasa ini,“ mengatakan bahwa perusahaan raksasa sekarang sangat berorientasi pada profit. Dia mengatakan strategi perusahaan mereka sering kali mengorbankan mutu isi dan mutu pelayanan untuk menaikan profit. Bagdikian memberi data yang menyedihkan tentang konglomerasi dalam bukunya yang berjudul The New Media Monopoly.
             Dalam buku Teori Komunikasi Massa, John Vivian 2008. Menulis, Rupert Murdoch sebagai Raja Media.  Banyak orang benci raja media Rupert Murdoch. Walaupun News Corp miliknya hanya salah satu dari sekian banyak perusahaan perusahaan medianya yang mencaplok outlet media lainnya, nama Murdoch telah menjadi sinonim dengan kekuasaan media. Media eksekutif CBS Howard Stringer menjulukinya sebagai “pemimpin era komunikasi Napoleonik baru.”  Para pengkritik mengkalim bahwa penekanannya pada profit korporat telah mengubah landasan media, dan pesaingnya harus berjuang keras menghadapinya.
Keluarga Murdoch menguasai 30 persen saham News Corp senilai 12$ miliar pada 2003. Dinasti Murdoch dimulai dengan Koran Autralia yang didirikan ayah Murdoch, yang mewariskan bisninya ke putranya, pada 1952. Rupert Murdoch, yang hini berusia 77 tahun, sedang melatih anak-anaknya untuk menggantikan dirinya.
            Murdoch mulai mengakuisisi beberapa Koran Inggris dan kemudian beberapa Koran Amerika. Dia memebeli perusahaan penerbit buku Harper & Row, yang kemudian dia sesuaikan dengan kepentingan penerbitannya di Inggris. Agar bisa memiliki stasiun televisi di AS, dia menjadi warga Negara Amerika Serikat. Karenanya pada 80-an, walau sebelumnya orang tak percaya, namun kenyataannya dia bisa mendirikan Fox sebagai jaringan televisi AS yag keempat. Dia lalu meguasai studio film dan televisi 20th Century Fox. Dia membeli perusahaan induk TV Guide. Dia mendirikan televisi satelit Sky and Star TV di Inggris dan Asia. Dua pertiga populasi dunia  3 miliar orang-menonton siaran StarTV, yang menampilkan program acara yang dibuat atau dibeli oleh perusahaan Murdoch. Pada 2003 dia menguasai DirecTV, televisi satelit utama di AS.( Vivian, 2008 : 30).
            Ilustrasi di atas, membuat Ben Bagdikian mengatakan bahwa konglomerasi mempengaruhi diversitas pesan yang diberikan media massa. Berbicara di Madison Institute, Bagdikian menggambarkan  konglomerasi dalam nada yang muram : “Mereka berusaha menguasai atau mendominasi pasar bukan hanya untuk satu medium tetapi semua media. Tujuannya adalah mengontrol semua proses dari naskah awal atau serial baru sampai ke penggunanya dalam beragam bentuk.   
            Di Indonesia, seyogyanya tidak  terjadi knglomerasi, jika pemerintah tegas dalam menindak bisnis monopoli media. Dan tegas terhadap pelaku bisnis media. Karena keberagaman isi siaran atau isi pesan dapat terlaksana dengan baik. Keberagaman konten dalam media televisi dan radio atau pesan lainnya  di media cetak kini yang dibutuhkan masyarakat tentunya dengan pendekatan kearipan lokal.

Regulasi Penyiaran
Media di Indonesia yeng berkembang pesat adalah media penyiaran, selain media cetak. Bisnis media penyiaran televisi dan radio di meriahkan oleh pengusaha besar di Indonesia yang sangat berpengaruh. Namun berbeda di daerah, televisi lokal kini bermunculan dan dimiliki bukan oleh pengusaha media besar dari Jakarta, namun pengusaha lokal bahkan pemerintah daerah. Muhamad Mufid, dalam bukunya Komunikasi dan Regulasi Penyiaran menuliskan, Setidaknya ada tiga  mengapa regulasi penyiaran di pandang urgent. Pertama dalam iklim demokrasi kekinian, salah satu urgensi yang mendasari penyusunan regulasi penyiaran adalah hak asasi manusia tentang kebebasan berbicara (freedom of speech), yang menjamin kebebasan sesorang untuk memperoleh dan menyebarkan pendapatnya tanpa adanya intervensi, bahkan dari pemerintah. Namun pada saat yang bersamaan, juga berlaku Undang-undang Telekomunikasi yag membatasi aktivitas penggunaan spectrum gelombang radio (Leen d’Haenens, 2000:24-26). Nilai demokrasi karenanya menghendaki kriteria yang jelas dan fair tetag pengaturan alokasi akses media.
            Kedua, demokrasi menghendaki adanya “sesuatu” yang menjamin keberagaman (diversity) politik dan kebudayaan, dengan menjamin kebebasan ide dan posisi dari kelompoknya minoriotas. Hal ini adalah adanya hak privasi (right to privacy) seseorqang untuk tidak menerima informasi tertentu. Dalam batas tertentu, kebebasan untuk menyampaikan informasi (freedom of information) memang dibatasi oleh hak privasi seseorang (right to privacy). Yang perlu digaris bawahi  dalam hal ini, sebagaimana diungkapkan Feintuck (1999 : 43), adalah limitasi keberagaman (diversity) sendiri seperti kekerasan dan pornografi merupakan hal yang tetap tidak dapat dieksploitasi atas nama keberagaman. Dalam perkembngannya aspek diversity, lebih banyak diafiliasikan sebagai aspek politik dan ekonomi dalam konteks ideology suatu bangsa. (Mufid 2007 : 68).

Sumber Bacaan :
Mufid Muhamad, Komunikasi & Regulasi Penyiaran, Kencana : 2007, Jakarta.
Vivian John, Teori Komunikasi Massa, Penerjemah Tri Wibowo B.S. Edisi Kedelapan, Kencana : 2008, Jakarta,